Suatu daerah dianggap tertinggal biasanya ditandai dengan buruknya tata layanan pemerintahan (pelayanan publik, dan infrastruktur pendukung), rendahnya indeks pembangunan manusia, dan minimnya produktivitas ekonomi. Namun, pelabelan daerah tertinggal itu bukanlah kutukan. Penyebutan daerah tertinggal sekadar metode pemilahan untuk menentukan sasaran kebijakan afirmasi pemerintah untuk masyarakat semakin tepat dan akurat.
Pada 2015, Pemerintah melahirkan Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal 2014-2019. Ada 122 kabupaten masuk dalam daftar daerah yang masuk kategori tertinggal. Indikator daerah disebut tertinggal ditentukan oleh tingkat perkembangan perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah.
Konsekwensi dari regulasi di atas, program penanganan daerah tertinggal membutuhkan pendekatan khusus dan spesifik agar mampu memicu percepatan pembangunan. Percepatan pembangunan bertujuan untuk menekan tingkat kesenjangan (gap) antara daerah tertinggal dengan daerah lainnya semakin tipis. Bila tingkat kesenjangan dapat ditekan maka angka kerentanan sosial antardaerah semakin turun.
Untuk itu, kegiatan pembangunan daerah tertinggal harus mampu melahirkan tradisi kreatif dan inovatif. Inovasi tumbur subur bila siklus transformasi pengetahuan dan praktik baik dari daerah ke daerah lain, terutama daerah-daerah yang memiliki kondisi dan permasalahan yang serupa, dapat berjalan lancar. Agar praktik pertukaran pengetahuan dan pengalaman antardaerah dapat berjalan, maka daerah mampu kodifikasikan praktik-praktik baik (best practice) yang mereka lakukan secara terstruktur, terdokumentasi, dan dapat tersebarluaskan.
Pembangunan dianggap inovatif bila prosesnya (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan) mampu merangsang kreativitas dan partisipasi masyarakat. Karena itu, percepatan pembangunan di daerah tertinggal, harus menyertakan kerja-kerja pendampingan intensif supaya tercipta transfer ilmu dan replikasi praktik baik. Asumsinya, bila pengetahuan dan keterampilan masyarakat meningkat maka angka dan kualitas partisipasi mereka dalam pembangunan semakin meningkat.
Peningkatan angka dan mutu partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan melahirkan kerja kolaborasi multipihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun sektor privat. Kolaborasi kerja multipihak akan melahirkan model pembangunan yang efektivitas, efisien, dan tepat sasaran. Dengan kata lain, Inovasi Daerah Tertinggal akan mempercepat proses pencapai tujuan pembangunan, seperti mengingkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dan mengurangi angka kemiskinan.