Di daerah kepulauan, masyarakat sulit mengakses pendidikan formal karena lokasi sekolah sangat jauh dari tempat tinggal warga. Sejumlah desa di Kecamatan Tidore Utara berinovasi mendirikan Sekolah Menengah Umum (SMU) agar anak-anak mereka dapat menempuh pendidikan tingkat lanjut. Kerjasama antardesa ini mampu mendekatkan akses sekolah pada masyarakat di kepulauan.
Kerjasama antardesa di atas dipelopori oleh Desa Maitara, Desa Maitara Utara, Desa Maitara Selatan, dan Maitara Tengah. Keempat desa itu terletak di Kecamatan Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara. Inovasi ini mampu memutus rantai anak putus sekolah karena para siswa dapat bersekolah di kota kecamatannya sendiri.
Nama Inovasi | Pendirian SMU Tododara |
Pengelola | Pemerintah Desa Maitara, Desa Maitara Utara, Desa Maitara Selatan dan Maitara Tengah |
Alamat | Desa Maitara, Kecamatan Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara |
Kontak |
Sebelumnya mendirikan SMU, Kecamatan Tidore Utara hanya memiliki fasilitas Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP). Untuk melanjutkan Sekolah Lanjutan Atas, baik SMU dan SMK (Sekolah Menengah Kejujuruan), anak-anak kepulauan itu musti pindah ke Kota Ternate dan Tidore.
Jarak antara desa-desa di kepulauan dengan Kota Ternate maupun Tidore sangat jauh. Masyarakat kepulauan harus menyewa rumah untuk tempat tinggal anak-anak mereka yang tengah menempuh pendidikan. Ada juga siswa yang memilih untuk naik perahu boat setiap hari, tapi pilihan itu sangat menyita tenaga dan ongkos yang cukup besar. Alih-alih mengikut kegiatan sekolah, mereka justru sering mendapat banyak gangguan akibat cuaca yang tidak menentu.
Para wali murid juga mengaku sulit memantau perkembangan dan perubahan perilaku anak. Mereka selalu khawatir dengan keselamatan anak-anaknya, khususnya saat cuaca sedang tidak mendukung.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, pada 2015, empat desa di Kecamatan Tidore Utara (Desa Maitara, Desa Maitara Utara, Desa Maitara Selatan dan Maitara Tengah) menjalin bekerjasama mendirikan sebuah Sekolah Menengah Umum (SMU). Berkat kerjasama ini, anak-anak di Kecamatan Tidore Utara dapat meneruskan sekolahnya di kota kecamatannya sendiri.
Sebelum mendirikan sekolah, setiap desa melakukan peneraan kebutuhan (need assessment) untuk menjajagi, melontarkan gagasan, sekaligus menjaring umpan balik dari masyarakat terkait dengan ide mendirikan sekolah. Kegiatan peneraan memanfaatkan ruang dan forum sosial, seperti majelis pengajian (majelis yasin tahlil), hajatan warga, dan pertemuan formal (musyawarah pemangku masjid dan musyawarah dusun).
Pada 2014, delegasi empat desa di Kecamatan Tidore Utara menyelenggarakan Musyawarah Antar Desa (MAD) untuk membahas gagasan mendirikan sekolah secara biaya swadaya. MAD diprakarsai oleh para kepala desa beserta jajarannya, para tokoh masyarakat, dan stakeholder desa (pengusaha kapal, kelompok nelayan, dan kelompok perempuan).
Paralel dengan proses permusyawaratan, desa-desa juga melakukan identifikasi aktor untuk menemukenali warga desa yang berpotensi menjadi staf pengajar dan administrasi di sekolah yang akan didirikan. Akhirnya, pada 2015, keempat desa bersepakat untuk membentuk tim kerja yang bertugas untuk mengurus pendirian yayasan.
Yayasan diberi nama Tadodara. “Tododara” mempunyai arti “kujaga, kurawat dan kusayangi”. Pemerintah desa bersepakat untuk tidak menggunakan APBDesa (apalagi pos DD) karena aturan tidak memungkinkan. Mereka menggerakkan pembiayaan swadaya dari partisipasi warga.
Dana yang terkumpul dari swadaya mencapai 20 juta rupiah. Anggaran swadaya itu dipergunakan untuk mengurus akta notaris, administrasi, dan operasional pendirian sekolah seperti alat tulis kantor dan komputer.
Tim pendirian SMU meminta izin Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tidore Kepulauan, agar proses belajar-mengajar dapat diselenggarakan. Untuk sementara, SMU Tododara menumpang di gedung SMP Negeri 17 Tidore Kepulauan yang lokasinya di Pulau Maitara.
Jumlah siswa yang menempuh pendidikan di SMU telah mencapai 100 orang atau setara dengan tiga kelas. Tahun 2018 merupakan kali pertama SMA tododara untuk meluluskan anak didiknya. Tenaga pendidik SMU Tododara berjumlah 12 orang dan berstatus non-ASN. Semuanya adalah putra-putri terbaik dari empat desa pendiri sekolah tersebut.
Pada 2018, desa-desa sepakat menggunakan Dana Desa untuk membangun gedung SMA Tododara. Meski baru memiliki dua ruang kelas, kini anak-anak bisa bersekolah dengan nyaman dan tenang.
Meski masih jauh dari kata ideal, keberadaan SMU membuat para orangtua wali murid bernafas lega. Mereka dapat memantau perkembangan dan perilaku anak-anak mereka secara lebih dekat dan saksama. Para wali murid dapat menghemat pengeluaran rumah tangganya, khususnya pada pos biaya harian transportasi
pendidikan anak.
Kini, para siswa SMU memiliki waktu cukup banyak untuk belajar dibanding waktu sebelumnya. Mereka dapat meluangkan waktu untuk membantu orang tua untuk mendaratkan ikan maupun menjualkan ikan hasil tangkapan. Porsi komunikasi antara orangtua dan anak semakin intensif.
Prakarsa kerjasama antardesa untuk membangun lembaga pendidikan merupakan perwujudan dari visi desa sebagaimana termaktub dalam UU Desa. Pemberian kewenangan kepada desa untuk berprakarsa, bekerjasama, bermusyawarah hingga memutuskan kebijakan sendiri membawa manfaat baik bagi masyarakat maupun meringankan beban pemerintah kabupaten.