Eksistensi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) seringkali dihadapkan pada persimpangan antara sekadar menjalankan program administratif atau berani mengambil risiko wirausaha. Di tengah realitas tersebut, BUMDes Rebbak Nduma di Desa Salak II, Kecamatan Salak, Kabupaten Pakpak Bharat, hadir menawarkan sebuah argumen kuat. Mereka membuktikan bahwa BUMDes mampu bertransformasi secara radikal, beralih dari model bisnis konvensional menuju sektor produktif yang strategis bagi ketahanan pangan lokal.
Perjalanan BUMDes Rebbak Nduma dimulai pada tahun 2018, dengan lini usaha yang umum ditemukan di banyak desa, yakni penyediaan alat-alat pesta. Bisnis ini, meskipun relatif aman dan memenuhi kebutuhan komunal, memiliki keterbatasan dalam skala dan dampak langsung terhadap ekonomi kolektif desa. Namun, manajemen BUMDes tidak berpuas diri dan jeli melihat dinamika pasar lokal yang sesungguhnya.
| Nama Inovasi | Transformasi Bisnis BUMDes Ketahanan Pangan |
| Inovator | BUMDes Rebbak Nduma |
| Alamat | Desa Salak II, Kecamatan Salak, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatra Utara |
| Kontak | Sakat Banurea (Kepala Desa) |
Manajemen BUMDes mengidentifikasi adanya peluang bisnis yang jauh lebih menjanjikan dan fundamental bagi kesejahteraan masyarakat: peternakan ayam petelur. Keputusan strategis untuk melakukan diversifikasi usaha ini dieksekusi secara serius dan penuh perhitungan. Pada 16 Juli 2025, BUMDes Rebbak Nduma secara resmi meluncurkan cabang usaha baru tersebut di lokasi Napa Sengkut, Desa Salak II.
Kerja keras selama beberapa bulan terakhir kini mulai membuahkan hasil yang manis. Setelah melalui perawatan intensif, ratusan ternak ayam milik BUMDes Rebbak Nduma kini telah memasuki masa produksi. Telur-telur berkualitas baik mulai dihasilkan secara konsisten, menandai dimulainya fase baru BUMDes sebagai produsen pangan lokal yang signifikan.
Keberhasilan ini menarik perhatian langsung dari pimpinan daerah. Bupati Pakpak Bharat, Franc Bernhard Tumanggor, menyempatkan diri meninjau langsung kandang ayam di Napa Sengkut. Kunjungan ini bertujuan untuk melihat kondisi riil unit usaha yang didanai dan dikelola oleh masyarakat Desa Salak II tersebut.
Kunjungan Bupati bukan sekadar seremoni. Dalam kunjungan itu, beliau turut serta memanen telur ayam yang baru dihasilkan dan berdialog secara mendalam dengan para pengurus BUMDes Rebbak Nduma. Gestur simbolis pemanenan telur ini menegaskan dukungan penuh pemerintah daerah terhadap inisiatif produktif di tingkat desa, sekaligus menjadi validasi atas keberanian BUMDes mengambil langkah transformasi.
Bupati Franc Bernhard Tumanggor menyampaikan apresiasi tinggi atas apa yang telah dicapai BUMDes Rebbak Nduma. Beliau menekankan bahwa model yang dijalankan Desa Salak II ini adalah contoh ideal dari apa yang diharapkan oleh pemerintah. Inisiatif ini membuktikan bahwa Dana Desa dapat dimanfaatkan secara optimal untuk hal-hal produktif.
Alih-alih hanya terserap untuk infrastruktur fisik, Dana Desa di Salak II telah berevolusi menjadi modal usaha yang bergulir. Bupati menggarisbawahi bahwa investasi di sektor riil, seperti peternakan dan pertanian, adalah kunci kemandirian desa. Beliau juga menegaskan kembali keyakinannya bahwa usaha yang dikerjakan dengan tekun dan profesionalisme pasti akan memberikan hasil yang sepadan.
Pernyataan Bupati ini menjadi argumen penting bagi desa-desa lain di Pakpak Bharat. Ini adalah dorongan kebijakan agar para kepala desa dan pengurus BUMDes mulai memikirkan model bisnis yang berkelanjutan. Sukses Rebbak Nduma adalah bukti nyata bahwa dedikasi pada usaha akan sejalan lurus dengan hasil yang dicapai.
Transformasi dari penyedia jasa alat pesta menjadi produsen pangan di sektor peternakan adalah inti dari argumen keberhasilan BUMDes Rebbak Nduma. Perubahan haluan bisnis ini menunjukkan agilitas kelembagaan yang luar biasa. Kemampuan adaptif ini krusial namun jarang dimiliki oleh entitas usaha di tingkat desa yang cenderung bermain aman.
BUMDes Rebbak Nduma tidak terjebak dalam zona nyaman bisnis jasa yang mungkin minim risiko namun juga minim pertumbuhan. Manajemen BUMDes menunjukkan visi wirausaha yang tajam. Mereka berani menginvestasikan kembali modal yang ada ke dalam usaha yang memiliki risiko teknis lebih tinggi, namun dengan potensi dampak ekonomi dan sosial yang jauh lebih besar bagi masyarakat desa.
Peluncuran unit usaha di Napa Sengkut pada pertengahan 2025 menjadi titik balik. Ini bukan sekadar penambahan unit usaha, melainkan sebuah pernyataan strategis bahwa BUMDes siap naik kelas. Mereka beralih dari sekadar ‘penyedia’ menjadi ‘produsen’, sebuah lompatan kualitatif yang fundamental dalam ekosistem ekonomi perdesaan.
Salah satu tantangan terbesar bagi usaha rintisan di perdesaan adalah kepastian pasar. Namun, BUMDes Rebbak Nduma tampaknya telah berhasil memitigasi risiko tersebut sejak awal. Hal ini membuktikan bahwa keputusan diversifikasi mereka didasari oleh riset pasar yang matang.
Kepala Desa Salak II, Sakat Banurea, membenarkan bahwa aspek pemasaran sama sekali tidak menjadi kendala. Telur-telur berkualitas hasil BUMDes ini telah terserap dengan sangat baik oleh pasar lokal. Kebutuhan telur di kota Salak dan wilayah sekitarnya kini dapat dipasok secara mandiri oleh BUMDes.
Banyak kios, warung, dan pedagang lokal yang bersedia menjadi mitra penampung reguler. Model pemasaran yang efektif ini menunjukkan bahwa BUMDes telah berhasil mengidentifikasi celah kebutuhan pasar lokal. Kebutuhan ini sebelumnya mungkin diisi oleh pemasok dari luar daerah, sehingga kini perputaran uang tetap terjaga di dalam wilayah.
Lebih menarik lagi, Sakat Banurea menambahkan bahwa tidak sedikit masyarakat yang memilih untuk datang langsung ke kandang di Napa Sengkut untuk membeli telur segar. Fenomena ini membuktikan dua hal: BUMDes berhasil membangun kepercayaan publik atas kualitas produknya, dan mereka sukses menciptakan rantai pasok terpendek yang paling efisien, yakni dari produsen lokal langsung ke konsumen lokal.
Keberhasilan dalam produksi telur berkualitas tinggi di sektor peternakan bukanlah sebuah kebetulan. Sektor ini padat modal dan sarat akan risiko teknis, terutama ancaman penyakit ternak. Di sinilah letak argumen penting lainnya mengenai kesuksesan BUMDes Rebbak Nduma, yaitu kesadaran akan kapasitas dan pentingnya kolaborasi teknis.
Manajemen BUMDes menyadari bahwa semangat wirausaha saja tidak cukup. Untuk menjaga kondisi kesehatan ratusan ayam petelur miliknya, mereka proaktif menjalin kerja sama strategis dengan otoritas yang memiliki keahlian teknis. Ini adalah langkah profesional yang menjauhkan BUMDes dari citra amatir.
Mereka menggandeng Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Pakpak Bharat sebagai mitra teknis. Kemitraan ini menjadi tulang punggung operasional dan jaminan kualitas bagi peternakan. BUMDes fokus pada manajemen dan pemasaran, sementara dinas memberikan dukungan teknis.
Kolaborasi ini berjalan secara fungsional dan rutin. Pihak dinas secara berkala melakukan pengawasan dan pemeriksaan kesehatan bagi seluruh ayam-ayam tersebut. Lebih dari itu, dukungan teknis esensial berupa pemberian suntikan vaksinasi juga dipastikan, menjamin keberlangsungan produksi dan menekan risiko kerugian massal akibat wabah.
Argumen yang dapat ditarik dari model kolaborasi ini sangat kuat. BUMDes tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan berjalan sendirian, terutama ketika memasuki sektor usaha teknis yang kompleks. Dukungan supra-desa dari dinas terkait menjadi faktor penentu yang membedakan antara keberhasilan jangka panjang dan kegagalan prematur.
Secara keseluruhan, kisah BUMDes Rebbak Nduma di Desa Salak II adalah sebuah deskripsi tentang keberanian dan argumen tentang pentingnya strategi. Keberanian untuk beralih dari bisnis jasa berisiko rendah ke bisnis produksi pangan berisiko teknis namun berdampak tinggi. Serta argumen bahwa Dana Desa, jika dikelola dengan visi wirausaha, agilitas pasar, dan kolaborasi teknis yang kuat, dapat menjadi motor penggerak ekonomi desa yang sesungguhnya.
Inisiatif ini tidak hanya menciptakan unit usaha baru yang profitabel bagi kas desa. Lebih dari itu, BUMDes Rebbak Nduma telah mengambil langkah fundamental dalam mendukung ketahanan pangan lokal, menyediakan sumber protein berkualitas bagi warganya, dan membuktikan bahwa desa mampu berdaulat secara ekonomi.
